2 Bulan Kenal – Dua bulan. Hanya itu waktu yang dibutuhkan Ate, seorang pria berusia 32 tahun, untuk memutuskan bahwa Allysa Fatkhia, gadis 24 tahun, adalah wanita yang akan ia nikahi. Di tengah dunia yang penuh keraguan, kisah mereka tampil seperti tamparan keras bagi norma sosial soal waktu, kesiapan, dan kesesuaian usia dalam menjalin hubungan.
Bukan hanya soal waktu yang sangat singkat, tapi juga soal selisih usia delapan tahun yang jadi sorotan. Apakah ini cinta sejati, atau sekadar sensasi dadakan? Netizen pun terbelah, antara mendukung dengan penuh haru atau sinis mempertanyakan niat dan kedewasaan masing-masing pihak.
Perkenalan Tak Terduga yang Berujung Pelaminan
Kisah ini bermula dari sebuah pertemuan sederhana di sebuah acara mahjong ways literasi di Jakarta. Ate, yang dikenal sebagai penulis lepas dan mentor kepenulisan, di undang untuk menjadi pembicara. Allysa, yang saat itu masih aktif sebagai volunteer, di tugaskan sebagai panitia acara. Tak di sangka, percakapan ringan soal buku dan kopi saat itu menjadi awal benih cinta yang tumbuh dengan cepat.
Dari obrolan santai ke chat setiap malam, dari diskusi karya sastra ke saling membicarakan masa depan. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk merasakan koneksi yang intens—begitu intens hingga banyak teman dekat mereka mengernyitkan dahi ketika keduanya mengumumkan rencana pernikahan.
“Kalau hatinya sudah klik, kenapa harus menunggu lama?” ujar Ate dengan ekspresi santai namun penuh keyakinan dalam sebuah wawancara podcast yang kini viral di TikTok.
Perbedaan Usia: Masalah atau Justru Magnet?
Delapan tahun bukan angka yang kecil, terlebih dalam budaya yang masih suka menyorot ketimpangan usia dalam hubungan. Namun bagi Allysa, perbedaan ini justru membuatnya merasa lebih aman dan dewasa secara emosional.
“Dia bisa menenangkan saat aku overthinking, dan bisa memberi perspektif yang lebih matang tanpa menggurui,” tutur Allysa dalam unggahan Instagram-nya yang langsung di banjiri komentar. Sebagian besar komentar positif, namun tak sedikit pula yang menyelipkan sindiran soal kemungkinan ‘sugar daddy disguised as soulmate’.
Ate sendiri tidak menampik adanya tantangan. “Tentu ada benturan cara pandang. Tapi komunikasi kami terbuka. Allysa bukan tipe gadis kekanakan, dia visioner. Itu yang membuat saya yakin,” tegasnya.
Respons Keluarga dan Netizen: Antara Kaget dan Kagum
Keluarga besar dari kedua belah pihak sempat kebingungan menerima keputusan secepat ini. Ayah Allysa, seorang dosen, bahkan di kabarkan sempat meminta pertemuan pribadi dengan Ate untuk mengklarifikasi niat dan rencana hidup jangka panjang.
Namun setelah beberapa pertemuan dan obrolan mendalam, restu akhirnya di berikan. Justru ibu Ate yang sempat kaget melihat bahwa putranya akhirnya serius dengan seseorang setelah bertahun-tahun di anggap ‘menikmati status jomblo’.
Netizen sendiri tampaknya belum bisa benar-benar legawa. Ada yang menyebut hubungan ini sebagai “eksperimen jangka pendek yang penuh risiko,” sementara yang lain malah menyebut mereka sebagai “ikon keberanian cinta generasi baru”.
Persiapan Pernikahan: Sederhana tapi Bermakna
Pernikahan mereka rencananya akan di gelar secara intim di sebuah rumah budaya di Bogor, dengan konsep semi-outdoor dan tema klasik Jawa kontemporer. Alih-alih pesta mewah, mereka lebih memilih mengundang 100 tamu terdekat untuk menjaga kehangatan suasana.
Allysa memilih kebaya putih minimalis dengan detail bordir tangan, sementara Ate akan mengenakan beskap berwarna abu-abu gelap. Musik latar pun di siapkan dengan penuh kehati-hatian: bukan DJ atau orkestra mahal, melainkan kolaborasi live antara gamelan dan string quartet.
“Kami ingin pesta ini jadi perayaan perasaan, bukan pertunjukan sosial,” kata Allysa lantang. Tampaknya, dua bulan cukup bagi mereka untuk yakin bahwa cinta memang tak perlu banyak alasan—cukup rasa percaya dan keberanian melawan ekspektasi.